Wednesday, April 4, 2018

Ketika Aku Merasa Tidak Berdaya

Selama hidup, aku nggak mengira kalau aku ini anak yang cengeng luar biasa. Mungkin semakin aku tua semakin cengeng. Mungkin, itu tandanya aku mulai menyadari kalau aku tidak berdaya sama sekali.

Selain masalah cita-cita yang selalu kepentok realita, aku masih punya satu impian lain yang sayangnya masih kepentol realita. 

Entah sejak kapan kok aku selalu kepikiran pengen jadi tenaga relawan di negara-negara yang membutuhkan, atau setidaknya kalau di Indonesia pengennya ke pelosok buat jadi relawan. Sayangnya jadi relawan ternyata butuh kemampuan juga. Ada yang butuh untuk jadi guru (yang aku sama sekali nggak mampu buat ngajarin orang lain), jadi medis (yang sampe sekarang aku liat orang punya luka aja masih mikir berkali-kali buat liat lukanya), jadi tenaga pembangun (yang mikirin sistem air atau cara bangun rumah, dan nyatanya aku nggak bisa sama sekali). Dan yang lebih bikin kaget adalah semua organisasi yang menawarkan program relawan pasti memberi syarat untuk lulus S-1. Ampun mau jadi relawan aja syaratnya banyak, padahal aku kan cuma pengen bantu, kenapa harus ada syarat punya pendidikan minimal kayak gitu. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, ya memang perlu. Kalau relawan tersebut bukan seorang profesional dan nggak punya kemampuan apa-apa, dia mau memberikan kontribusi kayak apa? Aku kembali nggak berdaya, bahkan aku sarjana aja masih gelap, belum ada titik terang sama sekali. 

Ada lagi nemu buat sponsorin seorang anak. Wow, ini sih luar biasa. Kalau aku nggak bisa ke lapangan tapi setidaknya aku bisa menolong satu orang anak yang membutuhkan. Dan ketika buka situsnya, jreng! Nggak cuma ada satu anak, tapi puluhan anak di sana dengan foto mereka yang bahagia, mulai dari bayi sampai yang usianya 10 tahun terpampang di situs itu. Rasanya hati ini sakit, masa aku harus pilih satu dari mereka sedangkan mereka semuanya butuh sponsor. Bahkan ada yang sudah menunggu diberi sponsor sampai lebih dari 700 hari yang lalu (04/04/2018). Aku kan nggak tega kalau cuma pilih satu. Cita-cita mereka aja macem-macem, siapa sih yang nggak mau bantu anak-anak masa depan bangsa ini buat mencapai cita-citanya? Dan di situ aku cuma bisa mendesah, seandainya aku mampu buat sponsorin semua anak-anak ini

Tapi aku masih pengen bantu. Dengan cara apapun. Walaupun rasanya masih belum memuaskan, tapi kalau bisa bantu ya kan nggak papa. Akhirnya coba untuk cari tau bagian donasi. Di beberapa situs milik organisasi dari PBB, ternyata nominalnya bener-bener masuk akal. Disitu aku seneng banget. Tapi setelah nengok dompet, kosong. Aku ternyata nggak punya duit sama sekali. 

Apalah aku manusia yang nggak punya gelar edukasi, kerja cuma jadi freelancer yang kadang dapet kerjaan kadang nggak, dan penghasilannya aja cuma cukup buat bantuin beli beras (bukan beliin beras). Lagi, aku nggak berdaya. 

Waktu aku diumuran mereka, aku anak yang bahagia. Masih main sama temen-temen, bisa les ini dan itu, bisa makan enak 3 kali sehari, dapet kasih sayang orang tua, bisa nonton tv sepuanya kalau dibolehin, bisa beli majalah bobo tiap minggu, bisa main komputer, bisa sepedaan sama temen. Sedangkan mereka, belum tentu. Aku orang yang beruntung bisa lahir di keluarga yang bisa memberikan aku kehidupan seperti itu, makanya aku juga pengen anak-anak ini punya kesempatan yang sama sepertiku. 

Tapi ya itu, aku nggak berdaya. Seandainya aku adalah orang kaya, pengusaha sukses, mungkin aku bisa bantu mereka. Eh, nggak juga sih. Walaupun ya, Mark Zuckerberg atau Bill Gates bisa memberikan donasi gila-gilaan, tapi apakah aku mampu kepikiran sampe sana dengan uang sebanyak mereka? Atau misal 1% aja dari kekayaan mereka. Pasti akan beda lagi. Pasti, aku cuma akan mikir aku, aku, dan aku lagi. Pasti, aku akan jadi orang jahat toh sekarang juga jadi orang jahat, kan?

Tapi nyatanya, aku nggak berdaya. Sama sekali nggak berdaya. Cuma ada perasaan sedih, bersalah, karena toh rasanya pengen banget bantu mereka tapi aku nggak punya daya.