Thursday, October 23, 2014

Curhat colongan part 6: Ketika kamu tidak bisa berbuat apa-apa

Apa yang dilakukan orang-orang untuk menumpahkan perasaannya disaat dia tidak bisa berteriak bahkan untuk menuliskannyapun susah?
Menangis. 
Iya, aku menangis lagi. Karena cinta. Bahkan cinta tidak pernah menangisiku kenapa aku harus menangisinya?

Aku pernah bilang aku ingin mengalami patah hati lagi agar ke depannya aku tidak pernah merasakan patah hati lagi. Iya, sekarang aku patah hati. Hanya saja, aku tidak yakin apa ini adalah patah hati yang terakhir karena aku meminta kesempatan kepada Tuhan dan sebagai ganti permintaanku yang sangat keterlaluan ini aku rela ditaburi air garam kemudian diiris lagi di luka yang sama. Aku rela hati ini diremukkan. 

Rasanya begitu... menyakitkan. Aku yang sudah menduga hal seperti ini akan datang tidak pernah membayangkan bahwa jadinya akan sesakit ini. Akan seterpuruk ini. Akan menyiksaku dengan perlahan seperti ini. Aku mungkin terlihat baik-baik saja. Aku masih bisa melakukan apa yang seharusnya aku lakukan. Aku masih makan, minum, kuliah, jadi panitia, ikut seminar, mengikuti ujian, membuat diriku sendiri bodoh. Aku masih melakukan semua itu. Tapi rasanya semuanya seperti kurang bermakna. Ada sesuatu yang hilang, yang selama ini menjadi peganganku rasanya lepas.

Seperti balon helium yang talinya dipegang dengan erat. Balon itu adalah mimpiku yang aku pegang dengan sangat erat karena aku percaya bahwa Tuhan punya rencana yang tidak masuk akal akan terjadi. Namun tiba-tiba balon itu meledak dan membuatku terkejut setengah mati--tepat seperti saat berita itu kubaca. Dan ketika balon itu meledak, aku menangis sejadinya dan merasa kehilangan.

Semesta ini begitu kejam. Ketika aku merasa aku akan hidup bahagia, dia tidak mengizinkan kebahagiaanku untuk begitu meluap sehingga semesta mempertemukan kedua orang itu dan membuatnya jatuh cinta. Dan membuatku merana. Ketika aku merasa aku akan merana berkepanjangan, dia tidak mengizinkannya lagi. Semesta tidak menurunkan hujan. Tidak juga membiarkanku memasang wajah sedih. Aku dihadapkan kenyataan bahwa aku masih ada presentasi esok harinya, lalu ada deadline dua laporan dan sebuah presentasi lainnya berupa animasi tiga hari kemudian. Aku tidak diberikan kesempatan untuk meratapi nasibku yang malang ini. 

Efek apa lagi yang ditimbulkan semesta yang sudah mempertemukan mereka? Aku takut menulis cerita fiksi--cerita karanganku sendiri. Aku takut apa yang aku tulis akan terjadi pada mereka dan padaku. Seperti yang sudah kulakukan. 

Agustus lalu aku menuliskan bahwa dia sedang bersama dengan belahan jiwanya dan bahwa aku ingin patah hati lagi. Itu semua benar-benar terjadi. Lalu aku menulis pada buku merah muda milikku bahwa suatu saat aku akan melihat orang yang sangat aku sayangi akan melepas lajangnya. Benar terjadi. Dan di suatu catatan yang aku tulis kurang lebih setahun yang lalu di laptop ini bahwa dia yang pertama akan menikah dan punya anak dengan seorang penyanyi. Ini juga benar-benar terjadi,

Aku harus apa?

Aku merasa... tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan aku tidak berani lagi berimajinasi dan memulai membuka microsoft word untuk kembali berkarya lagi. Apa ini pertanda bahwa aku harus terus fokus kuliah dan berorganisasi agar aku bisa mewujudkan impianku yang tidak boleh diruntuhkan itu? Seperti semesta memberi pertanda bahwa aku tidak boleh mengabiskan tabunganku untuk menghadiri sebuah konser. 

Aku terlalu takut untuk melakukan hal yang sangat aku sukai. Itu adalah hal yang berat. Semesta memberiku banyak ide baru, banyak bayangan baru, dan banyak inspirasi (terlebih dari apa yang baru saja aku alami dan kurasakan) dan lagu-lagu luar biasa yang baru bertebaran beberapa minggu ini. Aku ingin bisa menulis lagi, dengan tenang. Namun aku terlalu banyak meminta pada Tuhan, walaupun aku tahu bahwa Tuhan sangat senang ketika hambaNya mau meminta hanya kepadaNya. Namun aku merasa keterlaluan karena apa yang diperintahkanNya belum semuanya kukerjakan. 

Tidak, aku tidak ingin menjadi orang yang selalu merasa hidup ini datar. Hidupku ini berpalung. Aku sering tersandung dan jatuh terjerembab entah sampai kapan aku bisa berdiri tegak. 

Seharusnya patah hati seperti bisa memberiku imun untuk kejadian menyakitkan yang lainnya lagi. 

Tidak, aku harus belajar lagi. Impian ini tidak boleh padam. Aku berupaya agar aku bisa mewujudkannya. Tidak apa-apa jika yang lainnya tidak. Namun aku ingin yang satu ini, yang mungkin akan membuatku dipandang berbeda setelahnya, Aku akan mencoba untuk tidak keberatan ketika aku dipertemukan dengan mereka berdua, bahkan ketika nantinya aku ada urusan dengan mereka berdua, Aku akan mencoba menahannya semua. Asalkan aku bisa mendapatkan yang ini. 

Dan aku juga berterimakasih kepada Epik High--Hip Hop grup yang aku tunggu kembalinya. Terima kasih untuk lagu-lagu yang sudah kalian ciptakan. Yang membuatku naik dan turun. Merasa sendirian dan merasa swag sehingga aku bisa merasakan semangat kalian bermusik Mungkin suatu saat aku bisa membantu kalian untuk bermusik, dengan ceritaku atau dengan yang lainnya. 

Sekali lagi aku harus mengulum pil pahit. Membiarkan rasa pahit itu tetap terkecap di lidahku dan tetap di sana sampai waktu yang tidak ditentukan.

Sunday, October 12, 2014

Kabur

Suatu hari aku mendapatkan pertanyaan dari seorang pembaca salah satu ceritaku. Dia bertanya, "Kenapa dia pergi?"
Aku si pembuat cerita merasa tertohok sebenarnya. Mengapa aku membuat karakter yang kuceritakan memutuskan untuk pergi? Butuh seminggu bagiku untuk menjawab pertanyaan ini. Dan aku kemudian mengetik balasan untuknya, "Kebanyakan orang butuh pengalihan dari masalah. Dan cara favorit mereka adalah meninggalkan kenangan mereka jauh-jauh."

Aku merasa itu adalah jawaban yang benar. Seperti mengapa orang memutuskan untuk pindah rumah alih-alih tetap di sana setelah beberapa kejadian buruk menimpa penghuni rumah itu. Mereka butuh lingkungan baru yang membuat mereka melupakan apa hal-hal yang akan mengingatkan mereka pada sebuah kejadian yang melukai hati mereka.

Aku juga ingin kabur. Ke suatu tempat di mana aku bisa bersembunyi dan menjadi orang yang baru. Tujuanku ada dua. Pertama, hutan beton tempat impian terbentuk. Kedua, sumber segala rasa sedih-bingung-menyakitkan yang akhir-akhir ini kurasakan.

Yang aku tahu, satu-satu cara yang rasional adalah meneruskan pendidikanku. Hanya saja... kenyataan kembali memukulku dengan keras seperti seorang pemain baseball yang mencetak homerun. Kuliah di jurusan ini begitu berat. Dosen yang luar biasa jenius membuat kami membuat sesuatu di luar bayanganku dalam jangka waktu yang singkat. Tugas laporanpun dibuat sedemikian rupa agar aku memutar otakku dan merasa seperti seorang idiot. Apa lagi saat kuliah aku sama sekali tidak menangkap apa yang dosen terangkan.

Aku merasa seperti seorag imbisil. Kalau program sarjana saja aku masih linglung dan belum memiliki judul skripsi, lalu akan jadi apa aku untuk jenjang yang selanjutnya. Aku menyukai ilmu yang ada di jurusan ini. Aku merasa penasaran, dan ketika aku bisa aku merasa seperti orang pandai, orang yang cerdas. Dan aku merasa puas.

Aku tidak bisa memikirkan jurusan lain yang ingin kutekuni. Aku ingin memiliki banyak ilmu, banyak pengetahuan. Yang biasa kutonton hanyalah berkisar tentang mobil, ilmu bumi, teknologi, dan sejarah. Jika aku hanya ingin mengejar gelar dan kesempatan untuk berada di tempat tujuan untuk kabur tersebut, aku mungkin akan memilih jurusan lain yang lebih mudah misalnya ilmu budaya. Namun aku tidak merasa puas. Aku ingin mengambil sesuatu yang sesuai di jalurku, Ilmu Alam.

Aku ingin kabur. Tidak, aku ingin menghampiri tempat di mana sumber penyakitku berada. Aku harus berada di sana. Aku tidak tahu apa alasannya, aku tahu kemungkinan lebih buruk bisa terjadi saat aku di sana. Tapi aku ingin sekali di sana. Menemui bibit penyakitku kemudian memamerkan bahwa aku bisa menapakkan kakiku di tanahnya.

Patah hati mungkin membuatmu melihat dunia dengan sedih dan tidak bersemangat. Namun bagiku patah hati membuatku bermimpi lebih tinggi dan lebih rasional.

Dulu, aku tidak pernah ingin berkuliah. Berkat dia, aku bahkan ingin melanjutkan pendidikanku.
Sayangnya berkat dia, aku tidak ingin melakukan apa yang orang tuaku lakukan sebelum adanya aku.
Tidak, aku ingin sendirian.