Di suatu siang yang panas, gerah, dan membuat mengantuk aku
seperti diberi hidayah. Diberi pemahaman baru tentang apa yang beberapa minggu
ini (atau katakan setengah tahun terakhir ini) mengganggu akal sehatku.
Semua terjadi karena sebuah alasan.
Dulu sekali aku dibentak-bentak, dipukul, ditampar hanya
untuk belajar membaca. Aku bahkan sampai sesenggukan hanya untuk bisa membaca
satu kata dengan benar. Mungkin sekarang kedengarannya mudah saja untuk membaca
tapi aku yang saat itu berumur 5 tahun dan belum hafal alfabet harus sudah bisa
membaca karena aku sudah masuk SD. Sesuatu yang sulit itu dulu sekarang
kedengarannya menjadi sangat mudah. Karena aku belajar dan mengalaminya. Dan
yang paling aku sangat berterima kasih kepada ayahku, berkat beliau aku jadi
bisa membaca buku-buku yang luar biasa menghibur dan luar biasa membantuku
untuk tumbuh dengan bijak.
Aku belum pernah menentukan kemana aku akan melanjutkan
pendidikanku sebelumnya. Maksudku, aku baru lulus SD waktu itu dan aku tidak
punya “gairah” untuk menjadi yang paling baik dan untuk bersaing. Yang ada
dibenakku saat itu adalah aku menjadi yang paling atas di urutan PSB dan bisa
mendapatkan beasiswa. Tapi ayahku menolak. Bahkan dia tidak akan mengantarku
pergi mendaftar SMP kalau aku tidak mau ke SMP yang diinginkan ayahku. Jadi
dengan terpaksa aku mengikutinya. Mengikuti pilihan ayahku. Dan apa yang
kudapatkan saat aku masuk SMP tersebut. Sahabat baru, pergaulan baru.
Pengetahuan yang lebih baik, dan banyak lagi. Aku bahkan tidak pernah menyesal
setelah masuk SMP itu. Dan aku sangat mensyukurinya sampai-sampai aku yakin aku
akan sangat menyesal jika aku masuk ke SMP yang dulu aku inginkan.
Kemudian ayahku meninggal. Aku terpukul—jelas—walaupun dulu
aku pernah berdoa sampai menangis di kamar mandi agar ayahku meninggal sesegera
mungkin ketika aku dipukuli, ditendang, dan dijambak gara-gara tidak pernah mau
latihan piano. Ayahku tidak pernah setuju jika aku menulis sampah—cerpen dan
sejenisnya. Ayah menginginkan kau menjadi musisi. Jadi setelah beliau meninggal
aku mengambil alih laptopnya dan mulai menuliskan apa yang ada di benakku.
Sehingga aku bisa menjadi penulis cerita online seperti sekarang.
Dan hari ini. Saat ini. Ketika aku merana karena dia (sampai-sampai benakku berkata, "Bunuh aku! Bunuh aku!" kalau aku melihatnya dan mengepalkan tanganku sendiri seperti orang yang menahan perasaan yang meluap). Aku
berusaha untuk menemukan hal yang baik dari kejadian itu. Dan yang bisa
kudapatkan samai sekarang adalah aku bertambah kuat. Aku yakin sesuatu akan
terjadi lebih buruk dari ini. Jadi aku sudah diberi pemanasan sehingga nantinya
aku akan terbiasa. Sehingga nantinya aku hanya merasakan sedikit limu dari pada
rasa menusuk-nusuk yang mengganggu. Rasanya akan seperti ketika kamu punya luka
dan kamu mencoba untuk mengiris luka yang sama. Tidak akan terlalu sakit
dibanding pertama kali kamu melakukannya.
Dan kejadian ini memantapkanku untuk pergi. Aku tahu padahal
nilaiku pas-pasan dan otakku juga tidak di level yang luar biasa jenius. Aku
tahu juga bahwa kemungkinan aku gagal di sana lebih besar daripada
keberhasilanku. Kemungkinan aku mati di sana karena nuklir juga lebih tinggi
dibanding di sini. Kemungkinan aku jatuh miskin di sana lebih besar dari pada
di sini. Padahal lagi aku sudah diberikan petunjuk bahwa aku tidak bisa ke sana
lewat nilai-nilai yang luar biasa menohok hatiku. Tapi aku benar-benar ingin ke
sana. Aku ingin mendapat gelar master di sana sehingga aku bisa merasa lebih
beradab, lebih manusiawi. Aku ingin merasakan kegembiaraan yang selama ini
tidak yakin bisa aku dapat. Karena akhir-akhir ini kegembiraanku terampas oleh
dia. Dan kegembiraan yang kurasakan itu bukan gembira yang meluap-luap yang kupikir
akan terus teringat di memoriku. Karena kebahagiaan yang sekarang hanya
spontan. Berbeda dengan gelar master karena itu sudah kuinginkan sejak lama.
Dan jika aku sudah mendapatkan gelar masterku di sana, aku
akan kembali dengan kemantapan bahwa aku dan dia berbeda. Dia menggunakan
hatinya dan aku menggunakan otakku. Dia mengambil jurusan musik—yang
keindahannya tercipta dari hati. Dan aku mengambil ilmu eksak—yang harus
dipikirkan semalam suntuk (bisa juga lebih) dengan penelitian yang memuakkan untuk
medapatkan hasil kerja. Dia dan aku berbeda. Dia tercipta dengan penuh perasaan
lembut dan anggun. Sedangkan aku harus logis dan memikirkan faktor ini dan itu
yang membuatku tidak pernah merasa feminin.
Meratapi tidak akan mengubah keadaan, aku tahu. “Seandainya”
juga tidak akan pernah merubah perasaanmu menjadi lebih baik justru semakin
buruk. Yang bisa dilakukan hanya
menerima setelah mati-matian mempertahankan prinsip dan impian itu. Dan
impianku sudah tidak bersisa karena aku sudah menerima kenyataannya. Ya,
walaupun terpaksa. Karena yang awalnya sulit pada akhirnya akan terasa mudah.
Dan pemahaman yang kudapatkan setelah itu adalah bahwa jika
yang paling tidak kamu harapkan terjadi maka bisa jadi itu membuatku akan
menangis tersedu atau menangis terharu. Untuk saat ini, aku menangis tersedu. Mungkin
lain kesempatakan aku bisa menangis terharu.
No comments:
Post a Comment