Wednesday, February 11, 2015

Karena apa yang kamu inginkan tidak selalu bisa kamu dapatkan bahkan tidak ada satupun yang kamu dapatkan


Di suatu siang yang panas, gerah, dan membuat mengantuk aku seperti diberi hidayah. Diberi pemahaman baru tentang apa yang beberapa minggu ini (atau katakan setengah tahun terakhir ini) mengganggu akal sehatku.

Semua terjadi karena sebuah alasan.

Dulu sekali aku dibentak-bentak, dipukul, ditampar hanya untuk belajar membaca. Aku bahkan sampai sesenggukan hanya untuk bisa membaca satu kata dengan benar. Mungkin sekarang kedengarannya mudah saja untuk membaca tapi aku yang saat itu berumur 5 tahun dan belum hafal alfabet harus sudah bisa membaca karena aku sudah masuk SD. Sesuatu yang sulit itu dulu sekarang kedengarannya menjadi sangat mudah. Karena aku belajar dan mengalaminya. Dan yang paling aku sangat berterima kasih kepada ayahku, berkat beliau aku jadi bisa membaca buku-buku yang luar biasa menghibur dan luar biasa membantuku untuk tumbuh dengan bijak.

Aku belum pernah menentukan kemana aku akan melanjutkan pendidikanku sebelumnya. Maksudku, aku baru lulus SD waktu itu dan aku tidak punya “gairah” untuk menjadi yang paling baik dan untuk bersaing. Yang ada dibenakku saat itu adalah aku menjadi yang paling atas di urutan PSB dan bisa mendapatkan beasiswa. Tapi ayahku menolak. Bahkan dia tidak akan mengantarku pergi mendaftar SMP kalau aku tidak mau ke SMP yang diinginkan ayahku. Jadi dengan terpaksa aku mengikutinya. Mengikuti pilihan ayahku. Dan apa yang kudapatkan saat aku masuk SMP tersebut. Sahabat baru, pergaulan baru. Pengetahuan yang lebih baik, dan banyak lagi. Aku bahkan tidak pernah menyesal setelah masuk SMP itu. Dan aku sangat mensyukurinya sampai-sampai aku yakin aku akan sangat menyesal jika aku masuk ke SMP yang dulu aku inginkan.

Kemudian ayahku meninggal. Aku terpukul—jelas—walaupun dulu aku pernah berdoa sampai menangis di kamar mandi agar ayahku meninggal sesegera mungkin ketika aku dipukuli, ditendang, dan dijambak gara-gara tidak pernah mau latihan piano. Ayahku tidak pernah setuju jika aku menulis sampah—cerpen dan sejenisnya. Ayah menginginkan kau menjadi musisi. Jadi setelah beliau meninggal aku mengambil alih laptopnya dan mulai menuliskan apa yang ada di benakku. Sehingga aku bisa menjadi penulis cerita online seperti sekarang.

Dan hari ini. Saat ini. Ketika aku merana karena dia (sampai-sampai benakku berkata, "Bunuh aku! Bunuh aku!" kalau aku melihatnya dan mengepalkan tanganku sendiri seperti orang yang menahan perasaan yang meluap). Aku berusaha untuk menemukan hal yang baik dari kejadian itu. Dan yang bisa kudapatkan samai sekarang adalah aku bertambah kuat. Aku yakin sesuatu akan terjadi lebih buruk dari ini. Jadi aku sudah diberi pemanasan sehingga nantinya aku akan terbiasa. Sehingga nantinya aku hanya merasakan sedikit limu dari pada rasa menusuk-nusuk yang mengganggu. Rasanya akan seperti ketika kamu punya luka dan kamu mencoba untuk mengiris luka yang sama. Tidak akan terlalu sakit dibanding pertama kali kamu melakukannya.

Dan kejadian ini memantapkanku untuk pergi. Aku tahu padahal nilaiku pas-pasan dan otakku juga tidak di level yang luar biasa jenius. Aku tahu juga bahwa kemungkinan aku gagal di sana lebih besar daripada keberhasilanku. Kemungkinan aku mati di sana karena nuklir juga lebih tinggi dibanding di sini. Kemungkinan aku jatuh miskin di sana lebih besar dari pada di sini. Padahal lagi aku sudah diberikan petunjuk bahwa aku tidak bisa ke sana lewat nilai-nilai yang luar biasa menohok hatiku. Tapi aku benar-benar ingin ke sana. Aku ingin mendapat gelar master di sana sehingga aku bisa merasa lebih beradab, lebih manusiawi. Aku ingin merasakan kegembiaraan yang selama ini tidak yakin bisa aku dapat. Karena akhir-akhir ini kegembiraanku terampas oleh dia. Dan kegembiraan yang kurasakan itu bukan gembira yang meluap-luap yang kupikir akan terus teringat di memoriku. Karena kebahagiaan yang sekarang hanya spontan. Berbeda dengan gelar master karena itu sudah kuinginkan sejak lama.

Dan jika aku sudah mendapatkan gelar masterku di sana, aku akan kembali dengan kemantapan bahwa aku dan dia berbeda. Dia menggunakan hatinya dan aku menggunakan otakku. Dia mengambil jurusan musik—yang keindahannya tercipta dari hati. Dan aku mengambil ilmu eksak—yang harus dipikirkan semalam suntuk (bisa juga lebih) dengan penelitian yang memuakkan untuk medapatkan hasil kerja. Dia dan aku berbeda. Dia tercipta dengan penuh perasaan lembut dan anggun. Sedangkan aku harus logis dan memikirkan faktor ini dan itu yang membuatku tidak pernah merasa feminin.

Meratapi tidak akan mengubah keadaan, aku tahu. “Seandainya” juga tidak akan pernah merubah perasaanmu menjadi lebih baik justru semakin buruk.  Yang bisa dilakukan hanya menerima setelah mati-matian mempertahankan prinsip dan impian itu. Dan impianku sudah tidak bersisa karena aku sudah menerima kenyataannya. Ya, walaupun terpaksa. Karena yang awalnya sulit pada akhirnya akan terasa mudah.

Dan pemahaman yang kudapatkan setelah itu adalah bahwa jika yang paling tidak kamu harapkan terjadi maka bisa jadi itu membuatku akan menangis tersedu atau menangis terharu. Untuk saat ini, aku menangis tersedu. Mungkin lain kesempatakan aku bisa menangis terharu.


No comments:

Post a Comment