Friday, November 6, 2015

Talking about decision

I totally feel like shit. 
Dude, this semester is so hectic, so much works, so much pressure, and so much projects. 
Sampai-sampai aku berpikir, "Kayaknya kemarin aku input SKS cuma segini kok rasanya kayak input 50 sks."

Because it's Friday, a day on a weekend, I refuse to talk about college. Hell with deadlines, I'll just go insane. 

Mari kita berbicara tentang: kamu seharusnya masuk jurusan lain.

Beberapa bulan yang lalu, aku dan sahabatku pergi jalan-jalan setelah hampir setahun kami tidak bertemu. Selagi kita ngobrol dia bilang, "Aku kira kamu bakal masuk HI lho. Muka-mukamu muka HI." Dan dilain waktu saat aku dan beberapa orang lainnya sedang mengerjakan tugas presentasi salah seorang temenku menyeletuk, "Kenapa sih kamu nggak masuk HI atau Sastra aja?"

And they said it because I am able to speak English and Korean.

Sebenarnya kalau mengingat masa lalu, aku juga dulu pengen masuk HI, pengen masuk Sastra Inggris, Pengen masuk Sastra Korea, pengen masuk Sastra Indonesia. Dulu sih mana ada kepikiran buat masuk ke jurusan yang sekarang sedang menguji ketahanan mentalku ini. Dulu, aku mengira bahwa aku harus masuk ke jurusan yang memang di sana aku sudah ahli, jadi beban kuliah itu sedikit. Jadi untuk masuk HI, dan sastra sebenarnya adalah sebuah opsi yang paling menarik.

But at a point,  I said that I want to go here. Into the world of codes and binary. Alasannya sebenernya sepele, karena aku pengen kayak Abby Sciuto dan Timothy McGee. That time, I had the idea that being so intelligent is super sexy. Dan detik itu juga aku tahu bahwa aku ingin terlihat lebih pintar. Dan hal yang menurutku membuat orang bisa lebih pintar adalah komputer. Dan aku berpikir bahwa masuk jurusan ini adalah yang terbaik (setelah melihat dari beberapa sisi (dan begitu masuk I feel like shit)).

Tidak diduga, justru guru di SMA yang paling tidak dekat denganku yang memberiku keyakinan untuk mendaftar di jurusan ini. Beliau bilang, "Kalau kamu masuk sastra Inggris, kamu cuma bisa bahasa Inggris saja. Kalau kami ambil sastra Korea, kamu cuma bisa bahasa Inggris dan bahasa Korea. Kalau kamu masuk jurusan ini kamu punya satu skill dan dua nilai tambah. Kamu bisa programming dan kamu mempunyai kemampuan tambahan bisa dua bahasa asing." Setelah itu aku langsung memantapkan hati untuk masuk jurusan ini.

Setelah lebih dari dua tahun menjalani kuliah di sini, cobaan demi cobaan mulai datang. Dan rasanya berat banget kuliah di sini. Otak rasanya senutan dan pengen tidur aja di rumah. Bangun tidur rasanya nggak pengen bangun. Kalau ada temen bilang mau bolos, rasanya juga pengen ikutan bolos. Kalau ada temen yang bikin DFD aja nyontek google, aku juga pengen. Sayangnya aku nggak bisa. Rasanya biarpun otak bilang "STOP" alam bawah sadarku tetep meyakinkan aku untuk tetep berangkat kampus dan mengerjakan projek,

Aku juga nggak yakin aku bakal bisa nyusun skripsi, bisa lulus, bisa diterima kerja. Apakah nantinya aku jadi kasir indomaret atau jagain toko orang. Apakah aku jadi programmer atau analis sistem. Apakah aku jadi ibu rumah tangga atau jadi pengangguran. Aku nggak tau. Tapi aku cuma yakin bahwa aku ditakdirkan buat menjalani S1 di sini.

Buktinya, walaupun aku mengeluh terus aku pengen berhenti kuliah dan terus-terusan tidur di rumah. Walaupun aku pengen menghabiskan waktuku buat bertapa di depan laptop sampai sebuah ide untuk tulisan baru muncul. Belum pernah sebenelumnya kalau aku pengen pindah jurusan. Semacam gravitasi ilmu perkomputeran ini lebih menarik dibanding jurusan-jurusan yang lainnya.

Tapi memangnya salah ya kalau orang komputer bisa bahasa Inggris dan bahasa Korea?

No comments:

Post a Comment