Tuesday, December 1, 2015

Goddess

Sebenernya mau ngucapin selamat ulang tahun dan mendoakan semoga panjang umur, cuma sayang sekali umurnya sudah habis.

Hari ini Dewi ulang tahun. Seharusnya aku bisa merayakan ulang tahunnya bersama-sama. Dengan kue kecil, tiup lilin, terus berdoa bersama. Karena kalau diingat-ingat sebenernya aku nggak punya memori apapun yang berhubungan dengan merayakan ulang tahun Dewi. Sebenernya aku ini temen macam apa. Hah....

Kadang, ada kalanya aku selalu punya keyakinan bahwa Dewi masih bisa aku hubungi. Misalnya pas aku lihat nama dia di kontak ponselku. Atau pas aku mau tidur, waktu aku tiba-tiba ingat kejadian jaman SMP dulu. Atau waktu aku lihat kodok dan kupu-kupu. Dulu sebenernya tidak sesering ini. Tapi akhir-akhir ini aku lebih sering mikirin Dewi.

Mungkin karena udah lama nggak ketemu, jadi aku kangen.

Aku masih pengen ngobrol panjang lebar sama dia. Aku masih pengen bikin cerita ditemenin dia. Aku masih pengen duduk-duduk di SMP sampe sore sama dia. Aku masih pengen menghabiskan waktu sama
 dia. Aku kangen. Aku kangen masa-masa bahagiaku sama Dewi.

Karena ketika sama Dewi, aku nggak pernah sekalipun meragukan apakah dia temanku atau tidak. Karena ketika sama Dewi aku nggak pernah mengeluh karena dia. Karena waktu sama Dewi aku menjadi aku.

Nggak kayak sekarang.

Sekarang karena aku nggak bisa merayakan ulang tahun Dewi... aku bakal menghabiskan malam ini buat Dewi. Agar dia... bahagia di manapun dia berada sekarang.

I miss you, can we meet?

Friday, November 6, 2015

Talking about decision

I totally feel like shit. 
Dude, this semester is so hectic, so much works, so much pressure, and so much projects. 
Sampai-sampai aku berpikir, "Kayaknya kemarin aku input SKS cuma segini kok rasanya kayak input 50 sks."

Because it's Friday, a day on a weekend, I refuse to talk about college. Hell with deadlines, I'll just go insane. 

Mari kita berbicara tentang: kamu seharusnya masuk jurusan lain.

Beberapa bulan yang lalu, aku dan sahabatku pergi jalan-jalan setelah hampir setahun kami tidak bertemu. Selagi kita ngobrol dia bilang, "Aku kira kamu bakal masuk HI lho. Muka-mukamu muka HI." Dan dilain waktu saat aku dan beberapa orang lainnya sedang mengerjakan tugas presentasi salah seorang temenku menyeletuk, "Kenapa sih kamu nggak masuk HI atau Sastra aja?"

And they said it because I am able to speak English and Korean.

Sebenarnya kalau mengingat masa lalu, aku juga dulu pengen masuk HI, pengen masuk Sastra Inggris, Pengen masuk Sastra Korea, pengen masuk Sastra Indonesia. Dulu sih mana ada kepikiran buat masuk ke jurusan yang sekarang sedang menguji ketahanan mentalku ini. Dulu, aku mengira bahwa aku harus masuk ke jurusan yang memang di sana aku sudah ahli, jadi beban kuliah itu sedikit. Jadi untuk masuk HI, dan sastra sebenarnya adalah sebuah opsi yang paling menarik.

But at a point,  I said that I want to go here. Into the world of codes and binary. Alasannya sebenernya sepele, karena aku pengen kayak Abby Sciuto dan Timothy McGee. That time, I had the idea that being so intelligent is super sexy. Dan detik itu juga aku tahu bahwa aku ingin terlihat lebih pintar. Dan hal yang menurutku membuat orang bisa lebih pintar adalah komputer. Dan aku berpikir bahwa masuk jurusan ini adalah yang terbaik (setelah melihat dari beberapa sisi (dan begitu masuk I feel like shit)).

Tidak diduga, justru guru di SMA yang paling tidak dekat denganku yang memberiku keyakinan untuk mendaftar di jurusan ini. Beliau bilang, "Kalau kamu masuk sastra Inggris, kamu cuma bisa bahasa Inggris saja. Kalau kami ambil sastra Korea, kamu cuma bisa bahasa Inggris dan bahasa Korea. Kalau kamu masuk jurusan ini kamu punya satu skill dan dua nilai tambah. Kamu bisa programming dan kamu mempunyai kemampuan tambahan bisa dua bahasa asing." Setelah itu aku langsung memantapkan hati untuk masuk jurusan ini.

Setelah lebih dari dua tahun menjalani kuliah di sini, cobaan demi cobaan mulai datang. Dan rasanya berat banget kuliah di sini. Otak rasanya senutan dan pengen tidur aja di rumah. Bangun tidur rasanya nggak pengen bangun. Kalau ada temen bilang mau bolos, rasanya juga pengen ikutan bolos. Kalau ada temen yang bikin DFD aja nyontek google, aku juga pengen. Sayangnya aku nggak bisa. Rasanya biarpun otak bilang "STOP" alam bawah sadarku tetep meyakinkan aku untuk tetep berangkat kampus dan mengerjakan projek,

Aku juga nggak yakin aku bakal bisa nyusun skripsi, bisa lulus, bisa diterima kerja. Apakah nantinya aku jadi kasir indomaret atau jagain toko orang. Apakah aku jadi programmer atau analis sistem. Apakah aku jadi ibu rumah tangga atau jadi pengangguran. Aku nggak tau. Tapi aku cuma yakin bahwa aku ditakdirkan buat menjalani S1 di sini.

Buktinya, walaupun aku mengeluh terus aku pengen berhenti kuliah dan terus-terusan tidur di rumah. Walaupun aku pengen menghabiskan waktuku buat bertapa di depan laptop sampai sebuah ide untuk tulisan baru muncul. Belum pernah sebenelumnya kalau aku pengen pindah jurusan. Semacam gravitasi ilmu perkomputeran ini lebih menarik dibanding jurusan-jurusan yang lainnya.

Tapi memangnya salah ya kalau orang komputer bisa bahasa Inggris dan bahasa Korea?

Thursday, October 1, 2015

Catching Up

Things are going so smooth lately. Or... too smooth.

Dan ketika semua rasa nyaman karena kerjaan gampang-gampang itu merajalela, datanglah badai besar yang menantang untuk begadang sampai pagi dengan google dan lazarus. Sayangnya, aku kalah pertandingan pertama ini.

I have been thinking a lot lately. Like, do I have to go there? Do I have to loose weight? Do I have to have one more title behind my name that start with M after I graduate? When will I eventually stop being so delusional.

Dan jawabannya masih belum ketemu. Masih dalam proses. Kalau misal ini adalah penelitian, aku baru mau observasi dulu. Mau meneliti lebih lanjut opsi-opsi kehidupan ini.

Padahal sih seharusnya hidup itu penuh kejutan. Kalau semua diantisipasi begini sih mana ada kejutannya. Mungkin aku harus sedikit mengurangi kebiasaan untuk "berencana" ini. Karena kadang-kadang sakit hati juga kalau rencana awal tidak terlaksana walaupun rencana B ada.

Rasanya aneh buat jadi rajin. Ngerjain apa-apa ngebut banget sekarang dan cepet selesai. Which is funny because I was always finishing my works like hours before deadline. Tapi sekarang... wow. Kadang aku kaget sendiri dari mana kebiasaan ini muncul? Dari kapan aku jadi suka belajar begini?

Ngomong-ngomong DVD NatGeo bisa didapet di mana sih? Aku bingung sendiri nyarinya dimana. Ada seri NGC yang seru yang pengen ditonton lagi. Habisnya nunggu di NGC kan lama. belum tentu juga diputer ulang, kan?

Tuesday, August 18, 2015

3.3am

Aneh, kenapa setiap aku masih bangun setelah tengah malam seperti ini aku bisa berpikir yang aneh-aneh.
Kali ini misalnya, kenapa otakku dan batinku selalu bertolak belakang.

Ya kalau dipikir kembali sebenarnya semua pikiran berasal dari otak... tapi poinnya bukan di situ. Poinnya adalah kenapa otak dan batinku selalu bertolak belakang.

Otakku selalu bilang, "Okay, this is the last time you're hurt. No more in love, specially with idols. Not healthy. Your imagination never will come true anyways. So stop."

Dan batinku bilang, "Gosh he's cute! OMGOMGOMG. Can't resist. Too cute. Too handsome, too cool."

Otakku kemudian berkomentar, "Stupid, just stop or you'll get hurt again. Do you like to be hurt that bad?"

Setiap hari seperti itu. Setiap aku mulai daydreaming otakku selalu menginterupsi dan sayangnya batinku nggak mau merubah keadaannya. Padahal aku tahu kalau otakku benar. Tapi kenapa batinku menolak. Orang mana sih yang mau get hurt berulang kali padahal tau konsekuensinya. Dan aku, aku tahu konsekuensinya, aku pengen berhenti tapi kenapa nggak bisa? Apa karena aku nggak berusaha lebih keras?

Kapan sih otak dan batinku bisa sependapat? Kapan mereka akur? Kapan aku bisa merasakan sesuatu terasa benar?

Kapan batinku bilang, "Oh, he's hot. He's great. He's insanely charming. He's handsome and cute and argh I don't know I'm shy."
Dan kemudian otakku merespon, "Well, he is hot. He has driven you crazy. His family is warm. He's clever. Sure, you can like him and fall to him all you want. He's harmless for you. He's to one you need."

Kapan? Kapan? Kapan?

Sampai kapan lagi aku harus menyangkal setiap kata batinku pakai logika?

Monday, June 15, 2015

Dewi

Speaking about dead people.. aku nggak bisa melupakan sahabat terbaikku, Dewi.
Aku sedang dalam krisis kepercayan saat ini. Di mana aku tidak bisa membedakan mana yang hanya kenalan, mana yang teman, dan mana yang sahabat. Aku tidak bisa percaya pada orang-orang yang dekat denganku dengan mudah. Bahkan kejadian yang baru saja terjadi di kampus kemarin saja aku tidak berani untuk bercerita kepada teman-teman SMA... karena aku tidak menemukan alasan kenapa aku harus bercerita pada mereka. Karena aku ridak percaya pada mereka.
Kalau bicara tentang sahabat, tentu aku tidak bisa melupakan Dewi. Bagaimana aku lupa pada orang ini walaupun dia sudah hampir tidak bersamaku empat tahun lamanya. Karena dia begitu berarti. Karena dia adalah seseorang yang berarti.
Kalau Dewi masih ada sampai saat ini aku pasti sudah bercerita panjang lebar dengannya. Dan menyenangkan sekali mempunyai orang yang bisa mendengarkanku.
Aku ingat sekali ketika Dewi datang tanpa alasan ke rumah dan kita mengobrol cukup lama. Aku bahkan sebenarnya tidak ingat bagaimana Dewi bisa ingat jalan rumahku
Kapan aku bisa menemukan "Dewi" yang lain? Yang mau mendengarkan aku? Yang mau pergi ke mana saja denganku?
Tidak, tidak akan pernah ada Dewi yang lain di dunia ini. Karena Dewi hanya ada satu dan sayangnya dia berada di tempat dia seharusnya.
Kangen kamu wi, sayangnya kamu nggak pernah dateng ketemu aku. Aku pengen cerita...

Sunday, June 14, 2015

harta karun ayah

Beberapa hari yang lalu, aku menemukan sebuah harta karun. 
Bukan emas, bukan berlian, bukan juga sihir. Tapi harta karun peninggalan Ayah yang tertimbun oleh puluhan CD di bunderan CD yang disimpan ibu di lemari plastik paling bawah dan ditutupi oleh bunderan CD yang lainnya. Apa harta karun itu? Sekeping compact disk yang berisi kompilasi lagu-lagu Queen yang ayah suka. 
Saat ini aku sedang mendengarkannya, 15 menit menuju tengah malam. Dan sebenarnya rasanya horror sekali karena mendengarkan suara yang yang sudah meninggal dari lagu-lagu yang disukai oleh orang yang sudah meninggal pula.
Waktu itu seharian ayah mendengarkan lagu-lagu Queen sebelum beliau meninggal malamnya jadi Queen sudah menjadi sebagaian dari hidupku. 
Dari kecil aku sudah diperdengarkan lagu Queen. Mulai dari bentuk piringan hitam sampai bentuk MP3. Aku ingat betul sewaktu kecil aku satu-satunya yang mengetahui Queen diantara teman-temanku... bahkan sampai sekarang. Aku iidak akan memungkiri mungkin kemampuan berbahasa Inggrisku juga bermula karena aku sering mendengar lagu-lagu dari Queen. Dan ayahku selalu bilang ketika kecil aku sering meminta untuk lagu "Mama" diputarkan. Mama adalah potongan dari lagu Bohemian Rhapsody (yang kebetulan sedang kudengarkan saat ini dari CD kompilasi yang aku temukan itu). 
Aneh rasanya... untuk menjadi seseorang yang begitu mirip dengan ayahku. Walaupun aku sudah berkelana mengenal musik emo, metal, rock, sampai K-Pop tapi rasanya akarku ada pada Queen sehingga mau bagaimanapun juga aku tetap menyukai musik-musik lawas ini. Lawas sekali sampai orang-orang muda jaman sekarang tidak pernah tahu apa itu Queen. 
Aku sering mengira bahwa aku ini adalah orang yang begitu logis dan tidak memiliki keindahan artistik dan kelembutan di dalam hatiku. Aku selalu mengira kalau aku ini adalah orang yang keras, tidak mengenal hati dan selalu mengutamakan logika. Tapi setelah aku menemukan harta karun ini kurasa aku salah. Aku memiliki hati dan aku memiliki keanggunan artistik itu. Walaupun tidak ekstrem. 
Aku sekarang sedang mengira sesuatu. Kalau aku benar mirip dengan ayah... apakah aku akan berakhir seperti ayah juga?

Monday, May 25, 2015

KETIKA KAMU BERUSAHA UNTUK MELUPAKAN, APALAH KAMU BENAR-BENAR LUPA?

-Dari orang yang susah lupa-

Tuesday, April 21, 2015

Konotasi Negatif Sendirian

Banyak sebenarnya hal-hal yang bisa dilakukan sendiri (seorang diri, satu orang atau apapun istilah lainnya). Cuma sebagian besar orang menganggap pergi sendirian itu nggak seru. Emang sih sebenernya pergi sendirian nggak begitu seru nggak ada temen ngobrol. Karena orang-orang (manusia) sebenernya adalah makhluk sosial. Biasanya orang akan dianggap senagai "outcast" atau anti-sosial kalo pergi ke mana-mana sendirian. Padahal belum tentu sebenarnya orang yang suka pergi sendirian itu seperti itu. Aku contohnya. 

Walaupun masih berpegang teguh untuk nggak makan di restauran sendirian, aku masih mau pergi ke bioskop sendirian. And I found that it's very enjoyable. Gimanapun juga nonton film di bioskop itu butuh yang namanya konsentrasi tinggi biar ngerti alur ceritanya karena nggak bisa di rewind kayak nonton film di rumah. Mana udah bayar mahal cuma ngobrol doang di dalemkan nggak seru. Itu duit man bukan sampah yang dibuang-buang. Lagi pula orang di bioskop juga nggak akan peduli kamu pergi sendirian atau berbondong-bondong sekampung asalkan kamu diem aja di dalem teater dan nggak gangguin orang lain waktu nonton. Waktu aku mengeluarkan gagasan ini ke temen aku yang namanya harus disamarkan berhubung dia kalau malem jadi Tiffany (?), dia bilang, "Kamu ke bioskop sendirian. Keliatan jomblonya!"Ya keadaan memang jomblo mau digimanain lagi, kan? Selagi bisa menikmati waktu sendiri, selagi bisa. Siapa tau beberapa tahun kemnudian udah harus ngurus orang baru, kan?

Ngomongin jomblo, aku mulai bertanya-tanya kepada tren anak muda jaman sekarang yang demen banget pacaran dan PDA bahkan foto ciuman terus diunggah ke media sosial mereka. Dude, you really have to do that? Bukannya iri, cuma kayaknya nggak sesuai aja. "Ini sosmed gue, kalo kaga suka ya unfollow aje sih." Nah, kalau temen dia yang "normal" dan masih ngerti norma nge-unfollow dia nanti dia juga bakal cuap-cuap lagi,"Temen apa sih lo ngeunfol gue. Jangan remenan sama gue lagi". Apa dia punya penyakit mental? 

Untungnya, Tuhan kasih aku lingkungan yang luar biasa baik. Temen-temenku, lebih khusunya nggak pernah mempermasalahkan kejombloan ini dengan sangat detil. Ngomongin kejombloan ini adalah hal yang dibuat lucu-lucuan. Ngeledek tapi buat bahan ketawaan. Bukan ngeledek sambil menilai "Kamu nggak laku!" Dan syukurnya lagi temen-temenku masih pada punya norma dan otak yang normal untuk nggak mengunggah foto-foto PDA yang merusak mata dan menggugah jiwa. Temen PDA ada sih, tapi temen deket nggak ada ya biar mereka udah pacaran lama juga nggak ada. 

Semacam jomblo itu dosa besar, aku inget banget waktu pertama kali reuni SD pas habis masuk SMP. Seorang temenku tanya ke aku, "Udah punya pacar belum?" Aku jawab belum lalu dia bilang lagi, "Hahaha. Aku udah, Yang naksir aja ada dua orang." HELLO? Baru lulus SD gitu udah mikirin pacaran sementara aku waktu itu masih mikirin yang namanya remidi itu apa (maklum di SD nggak ada). Maksudku dosakah kita nggak punya pacar? Apa salahnya nggak punya pacar. Why people, why? Kenapa pacaran adalah tolak ukur seberapa lakunyakah kamu? Emangnya kamu produk pasaran yang harus diukur tingkat penjualan dan tingkat konsumsinya?

Ada satu lagi momen di mana aku mengeluarkan ekspresi seperti (-_-"), like dude... really? Waktu itu aku sama seorang temenku mau pergi nonton. Biasa yang namanya balas dendam akibat tugas banyak dan film bagus numpuk itu sehari bisa nonton dua film sekaligus. Berhubung kita orangnya suka seru-seruan kita ngajak temen kita yang satu lagi (berhubung kita bertiga selalu sekelas. Kemana-mana bareng). Dia bilang dia nggak bisa karena harus pulang. Kita sih sejujurnya pengen dia ikut berhubung kita belum pernah nonton film bagus (salahkan empat tahun di rumah hantu) barengan. Jadi kita agak maksa dia buat ikut. Dan dia bilang apa saudara, "Ya nanti aku pulang, ngecek rumah dulu terus nyusul kalian jam 1. Siapa tau si (sensor) bisa nganterin." aku tanya kenapa sama dia, dia jawab, "Ya kalau ada temennya kan enak." Oh god.  si sensor bahkan nggak deket sama aku dan temenku yang pertama tapi dia berani-beraninya ngajak dia. ARE YOU NUT? Berangkat sendiri bisa kali ya. 

Mungkin ini sih karena aku orangnya cuek dan nggak mau mengambil dalam apa kata orang. Kalau kata orang bagus dan bagus buatku sih aku pasti ambil dan terapkan tapi kali macem kayak gini sih bodo amat. Aku bisa kok buktiin aku nggak semenyedihkan itu biarpun sebenernya temenku yang sebanyak yang kamu bayangkan. Kalau aku bisa melakukan sendirian kenapa nggak? Selagi bisa gitu maksudku. Menikmati diri sendiri. Memanjakan diri sendiri. 

Ya emang sih kalau sama temen lebih seru...

 


Wednesday, February 11, 2015

Karena apa yang kamu inginkan tidak selalu bisa kamu dapatkan bahkan tidak ada satupun yang kamu dapatkan


Di suatu siang yang panas, gerah, dan membuat mengantuk aku seperti diberi hidayah. Diberi pemahaman baru tentang apa yang beberapa minggu ini (atau katakan setengah tahun terakhir ini) mengganggu akal sehatku.

Semua terjadi karena sebuah alasan.

Dulu sekali aku dibentak-bentak, dipukul, ditampar hanya untuk belajar membaca. Aku bahkan sampai sesenggukan hanya untuk bisa membaca satu kata dengan benar. Mungkin sekarang kedengarannya mudah saja untuk membaca tapi aku yang saat itu berumur 5 tahun dan belum hafal alfabet harus sudah bisa membaca karena aku sudah masuk SD. Sesuatu yang sulit itu dulu sekarang kedengarannya menjadi sangat mudah. Karena aku belajar dan mengalaminya. Dan yang paling aku sangat berterima kasih kepada ayahku, berkat beliau aku jadi bisa membaca buku-buku yang luar biasa menghibur dan luar biasa membantuku untuk tumbuh dengan bijak.

Aku belum pernah menentukan kemana aku akan melanjutkan pendidikanku sebelumnya. Maksudku, aku baru lulus SD waktu itu dan aku tidak punya “gairah” untuk menjadi yang paling baik dan untuk bersaing. Yang ada dibenakku saat itu adalah aku menjadi yang paling atas di urutan PSB dan bisa mendapatkan beasiswa. Tapi ayahku menolak. Bahkan dia tidak akan mengantarku pergi mendaftar SMP kalau aku tidak mau ke SMP yang diinginkan ayahku. Jadi dengan terpaksa aku mengikutinya. Mengikuti pilihan ayahku. Dan apa yang kudapatkan saat aku masuk SMP tersebut. Sahabat baru, pergaulan baru. Pengetahuan yang lebih baik, dan banyak lagi. Aku bahkan tidak pernah menyesal setelah masuk SMP itu. Dan aku sangat mensyukurinya sampai-sampai aku yakin aku akan sangat menyesal jika aku masuk ke SMP yang dulu aku inginkan.

Kemudian ayahku meninggal. Aku terpukul—jelas—walaupun dulu aku pernah berdoa sampai menangis di kamar mandi agar ayahku meninggal sesegera mungkin ketika aku dipukuli, ditendang, dan dijambak gara-gara tidak pernah mau latihan piano. Ayahku tidak pernah setuju jika aku menulis sampah—cerpen dan sejenisnya. Ayah menginginkan kau menjadi musisi. Jadi setelah beliau meninggal aku mengambil alih laptopnya dan mulai menuliskan apa yang ada di benakku. Sehingga aku bisa menjadi penulis cerita online seperti sekarang.

Dan hari ini. Saat ini. Ketika aku merana karena dia (sampai-sampai benakku berkata, "Bunuh aku! Bunuh aku!" kalau aku melihatnya dan mengepalkan tanganku sendiri seperti orang yang menahan perasaan yang meluap). Aku berusaha untuk menemukan hal yang baik dari kejadian itu. Dan yang bisa kudapatkan samai sekarang adalah aku bertambah kuat. Aku yakin sesuatu akan terjadi lebih buruk dari ini. Jadi aku sudah diberi pemanasan sehingga nantinya aku akan terbiasa. Sehingga nantinya aku hanya merasakan sedikit limu dari pada rasa menusuk-nusuk yang mengganggu. Rasanya akan seperti ketika kamu punya luka dan kamu mencoba untuk mengiris luka yang sama. Tidak akan terlalu sakit dibanding pertama kali kamu melakukannya.

Dan kejadian ini memantapkanku untuk pergi. Aku tahu padahal nilaiku pas-pasan dan otakku juga tidak di level yang luar biasa jenius. Aku tahu juga bahwa kemungkinan aku gagal di sana lebih besar daripada keberhasilanku. Kemungkinan aku mati di sana karena nuklir juga lebih tinggi dibanding di sini. Kemungkinan aku jatuh miskin di sana lebih besar dari pada di sini. Padahal lagi aku sudah diberikan petunjuk bahwa aku tidak bisa ke sana lewat nilai-nilai yang luar biasa menohok hatiku. Tapi aku benar-benar ingin ke sana. Aku ingin mendapat gelar master di sana sehingga aku bisa merasa lebih beradab, lebih manusiawi. Aku ingin merasakan kegembiaraan yang selama ini tidak yakin bisa aku dapat. Karena akhir-akhir ini kegembiraanku terampas oleh dia. Dan kegembiraan yang kurasakan itu bukan gembira yang meluap-luap yang kupikir akan terus teringat di memoriku. Karena kebahagiaan yang sekarang hanya spontan. Berbeda dengan gelar master karena itu sudah kuinginkan sejak lama.

Dan jika aku sudah mendapatkan gelar masterku di sana, aku akan kembali dengan kemantapan bahwa aku dan dia berbeda. Dia menggunakan hatinya dan aku menggunakan otakku. Dia mengambil jurusan musik—yang keindahannya tercipta dari hati. Dan aku mengambil ilmu eksak—yang harus dipikirkan semalam suntuk (bisa juga lebih) dengan penelitian yang memuakkan untuk medapatkan hasil kerja. Dia dan aku berbeda. Dia tercipta dengan penuh perasaan lembut dan anggun. Sedangkan aku harus logis dan memikirkan faktor ini dan itu yang membuatku tidak pernah merasa feminin.

Meratapi tidak akan mengubah keadaan, aku tahu. “Seandainya” juga tidak akan pernah merubah perasaanmu menjadi lebih baik justru semakin buruk.  Yang bisa dilakukan hanya menerima setelah mati-matian mempertahankan prinsip dan impian itu. Dan impianku sudah tidak bersisa karena aku sudah menerima kenyataannya. Ya, walaupun terpaksa. Karena yang awalnya sulit pada akhirnya akan terasa mudah.

Dan pemahaman yang kudapatkan setelah itu adalah bahwa jika yang paling tidak kamu harapkan terjadi maka bisa jadi itu membuatku akan menangis tersedu atau menangis terharu. Untuk saat ini, aku menangis tersedu. Mungkin lain kesempatakan aku bisa menangis terharu.